Wednesday, November 5, 2008
Ketika Kopi dan Rokok mengembik
Ini bukanlah sebuah fable atau dongeng yang menceritakan sihir yang membuat benda mati seperti rokok dan kopi dapat mengembik, tetapi ini adalah sebuah fenomena yang sudah menjadi “adap” dalamsiklus cikal bakal KKN di Indonesia, khususnya Nanggroe Aceh Darussalam, Tanah rencongku tercinta.
Apakah anda pernah memiliki beberapa urusan administrasi di berbagai instansi? Jika iya, tentunya anda sudah tidak asing lagi dengan istilah “uang kopi” ataupun “uang rokok”. Kebetulan dua benda ini sering menjadi objek, inilah yang saya maksud mereka tiba- tiba dapat mengembik. Ketika kopi dan rokok dijadikan kambing hitam untuk mendapatkan penghasilan tambahan bagi beberapa petugas administrasi, anda terpaksa harus merogoh kantong untuk mencari pecahan limaribuan atau sepuluh ribu, bahkan 20 ribu dan mungkin lebih supaya urusan yang sedang anda urus dapat terselesaikan. Jika tidak, maka kebanyakan petugas administrasi akan bermuka masam, atau lebih parahnya lagi, urusan anda tidak akan dikerjakan sama sekali.
Hal ini tidak hanya terjadi di kantor- kantor pelayanan umum, tetapi juga sering terjadi di pemerintahan, kepolisian bahkan di lembaga pendidikan. Bagaimana jika saya memberi sebuah contoh kasus?
A: Pak, saya ingin mengurus surat kehilangan barang.
Petugas Adm: Baik pak, nama? Alamat? Bla…bla..bla..
A: Nama A, tinggal di B, blab la bla
Petugas Adm: Oke, administrasinya 5000 pak.
Yang menjadi pertanyaan pada kasus ini adalah, administrasi itu untuk apa? Kertaska?(yang selembar harganya mungkin hanya RP.200) atau untuk tinta mesin ketikkah? (apakah tinta itu harus dihitung sedetail itu?) atau malah untuk ongkos si petugas mengetik? ( bukankah mereka memang sudah digaji untuk itu?)
Contoh kasus lain yang terjadi di lembaga pendidikan, apabila anda ingin melegalisir ijazah anda, maka Anda harus membayar Rp.3500 per lebarnya( untuk legalisir TOEFL malah Rp.10.000), sementara anda memfotocopi sendiri ijazah anda, yang berarti, petugas hanya perlu mencap dan mengesahkan untuk tanda tangan. Apakah uag tersebut adalah ongkos untuk menekan stempel dan tanda tangan? Bukankah kebijakan suatu lembaga memang mengesahkan surat yang pernah dikeluarkan apabila suart itu memang terbukti benar?(tentunya apabila si pemilik membawa sertifikat asli). Atau apabila pemungutan biaya pengesahan merupakan kebijakan, apakah semahal itu?
Sejujurnya permasalahan tidaklah terletak pada nominal yang dikutip si petugas Adm, tetapi berkaitan dengan budaya dan adapt, apakah hal ini udah menjadi budaya kita? Sehingga banyak petugas yang bermuka masam dan ogah melakukan tugasnya jika tidak disuguhi dengan “uang kopi” dan “uang rokok”. Atau urusan kita akan diperlambat apabila kita tidak mengikuti budaya tersebut. Jadi dapatkah saya menyebut para petugas adm dan lainnya yang masih menuntut “uang kopi” dan “uang rokok” atau apapun sebutan sebangsanya sebagai “perkumpulan penerima gaji buta”? atau apakah kita punya sebutan lain untuk mereka?
Pada akhir tulisan ini saya ingin mempertanyakan kembali, apakah pemberantasan korupsi yang sedang digalakkan besar-besaran dapat terwujud? Jika keadaan mengkambing-hitamkan kopi dan rokok masih terus terjadi? Dan anehnya orang- orang telah terbiasa dengan hal ini dan malah menggolongkannya dalam bagian dari peraturan beradministrasi.
Sebagai intermezzo; kasihan rokok dan kopi itu, mereka hanya benda mati, dan tiba- tiba harus sering difitnah untuk menggali rejeki tambahan dan menyerongkan budaya bangsa, kalau setiap orang mulai memperlakukan mereka sebagai benda mati, bukan benda hidup yang dapat mengembik (tidak menjadikan mereka sebagai tameng pencari uang lebih) tentunya budaya itu dapat dihilangkan sedikit demi sedikit.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment