Wednesday, April 15, 2009

PERNIKAHAN = KEMATIAN??


Menikah adalah sunnah rasul, seharusnya sangat indah dan menyatkan dua insan ke dalam sebuah bingkai cinta, tapi..bagi Hasnah itu adalah awal kematiannya.

Aku masih ingat tawanya waktu itu, sangat bahagia dan penuh warna.
Hasnah adalah sepupuku, dia adalah seorang gadis desa yang sangat cantik, dan sedikit centil, ceria dan manis. Waktu itu dia datang beribur, kami menghabiskan waktu bersama, mulai dari bergosip, jalan-jalan sampai bergadang hingga pagi, maklum dia adalah satu-satunya sepupu cewek yang sebaya denganku.
Bibirnya yang ungil nan cerewet tidak henti-hentinya bercerita tentang pacarnya, aku menemaninya membeli kado untuk pacarnya, lalu kami membungkusnya bersama-sama.
Hasnah berkunjung bebrapa kali ke rumahku, semua kunjungannya penuh tawa, kecuali kunjungannya yang terakhir, setelah berselang hampir setahun dia tidak berkunjung lagi.

Hasnah mulai menangis dan mengelus perutnya yang sudah sangat besar, kandungannya tinggal menunggu hari, tetapi suaminya telah beberapa bulan tidak pulang dan memberi kabar. Ya, Hasnah telah menikah dan sebentar lagi akan mempunyai seorang bayi mungil dan imut, namun yang ditangisi Hasnah bukanlah ketidakpulangan suaminya, tetapi nasibnya yang terpaksa menikah atas perjodohan orang tuanya.

“ Rin, kamu telah melihatnya kan? Jadikan ini pengalaman ya? Jangan pernah menikah, kalau kamu tidak menyukai orang itu” Hasnah menatapku dengan air mata yang masih terus mengalir di pipinya.

Malam ini kami kembali mengulang masa-masa curhat antr cewek kami, namun dalam suasana yang berbeda. Tidak ada cekikikan dan tawa usil, hanya ada isakan tangis dan gumamanku yang sesekali menenangkannya.

Kali ini Hasnah datang bersama ibunya ke rumahku, dengan dalih ingin menenangkan pikirannya yang cukup kacau, dan mungkin Dia berencana untuk melahirkan disini.

“Ibuku sangat suka menjodohkanku” Hasnah menghela nafas pelan,
“Dulu Dia menjodohkan kakakku dengan seorang lelaki tambun keturunan orang berada di kampung, namun kakakku menolak, dia akhirnya menikah dengan lelaki pilihannya dan walaupun mereka tidak memiliki anak setelah lima tahun usia perkawinannya, Dia tetap bahagia, karena iya bersama orang yang dicintainya”
Hasnah menatapku dan aku hanya mengangguk pelan.
“ Setelah kakakku menolak lelaki tambun itu, ibuku menyodorkannya padaku, demi menutup malu pada keluarga si lelaki dan orang- orang kampung”
“tapi aku menolaknya dan bersikeras tidak mau bertunangan dengan lelaki itu”

Dia bercerita bagaimana ibunya terus membujuknya sampai akhirnya menyerah, karena Hasnah teah memiliki seorang lelaki yang sangat dicintainya.
“tapi ibuku menghitung penolakanku sebagai penolakan pertama yang kulakukan, kemudian dia mencoba menjodohkanku lagi dengan seorang ustadz yang juga tidak kukenal, teman abangku”
Hasnah mengaku juga menolak pertunangan itu mati-matian sampai ibunya kembali menyerah.
“Tapi sepertinya ibu tidak pernah benar- benar menyerah, sampai Ia akhirnya kembali mejodohkanku dengan seorang lelaki berada lainnya yang umurnya kira-kira 11 tahun lebih tua dariku”
Air mata kembali merebak dan tumpah di pipinya.
“Lelaki itu, dia sangat kaku Rin, Dia lebih pantas menjadi pamanku, dan Dia...., aku benar- benar tidak menyukainya”
“Aku telah menolaknya, berkali – kali, tapi kali ini sepertinya ibu tidak mau mengalah, Dia mengungkit- ngungkit semua penolakan perjodohan yang pernah kulakukan, Dia mengatakan aku tidak menyayanginya.”

“Kalau kali ini kamu menolak, lebih baik kamu menguburku hidup-hidup sekarang juga” itu adalah kata- kata ibu Hasnah yang masih sangat membekas di hati Hasnah.
Ditambah lagi waktu itu ibu Hasnah sampai jatuh sakit.

Akhirnya lelaki itu datang ke rumah Hasnah dan melamarnya, Hasnah masih cukup berani untuk mengatakan Ia minta pertunangan mereka ditunda, karena Ia masih belum siap.
Ibu Hasnah sangat marah kepada Hasnah atas jawabannya, hasnah mencoba menjelaskan kalau Ia punya lelaki yang dicintainya, dan menurut ibunya lelaki itu tidak serius terhadapnya.
“Kalau memang lelaki itu serius denganmu, seharusnya Dia berani kemari dan melamarmu” ancam ibu Hasnah kepadanya.
Maka Hasnah mengatakan hal tersebut pada pacarnya, an sang pacar memberanikan diri untuk menemui orang tua Hasnah untuk melamar Hasnah dan meminta waktu tiga bulan untuk bertunangan.
“ Awalnya ibu setuju Rin, aku sangat bahagia mendengarnya, tapi ternyata semuanya tidaka seperti yang keluar dari mulutnya, Ibu malah melakukan hal lain di luar dugaanku”
Ibu Hasnah mendatangi keluarga pacar Hasnah dan marah- marah mengatakan anak mereka telah mengganggu dan mengacaukan pertunangan Hasnah. Ibunya juga meminta agar anak mereka menjauhi Hasnah. Hal tersebut membuat keluarga pacar Hasnah yang tadinya sangat menerima Hasnah menjadi marah dan berbalik ikut menentang hubungan Hasnah dan pacarnya.
Ibu Hasnah juga kembali mendatangi keluarga lelaki yang tadi dipilihkan untuk Hasnah dan mengatakan bahwa Hasnah siap untuk menikah dalam waktu dekat.
“ Aku tidak dapat berkata apa- apa lagi Rin, ibu terus mengatur pernikahan sesuka hatinya dan akhirnya aku benar- benar menikah dengan lelaki yang lebh tua itu”
“ Aku menoba untuk menyukainya, tapi aku tidak bisa Rin, bahkan untuk berpura- pura, aku benar- benar mendiamkannya, tidak pernah mau terlihat jalan dengannya di depan teman- temanku”
“ Aku pernah mengancam untuk bunuh diri juga Rin”
Aku ternganga mendengarnya tanpa bisa berkata apa- apa.
Hasnah menghela nafas panjang.
“Sampai akhirnya aku hamil Rin, dan lelaki itu pergi, dia pergi tanpa pernah meninggalkan kabar lagi, aku rasa dia tersinggung dengan penolakanku. Begitu juga keluarganya, mereka tidak mau memperdulikanku sama sekali”
Aku hanya bisa terdiam dan hanya dapat mengelus bahunya. Apa lagi yang dapat kulakukan? Aku tidak pernah mengalami hal serumit itu, aku tidak dapat menemukan kata- kata yang tepat untuk menghiburnya.

“ Sejujurnya aku senang Rin tidak bertemu lagi dengan lelaki itu, hal ini lebih melegakanku. Ini jauh lebih baik daripada hidup bersama orang yang tidak kukenal dan kucintai”
“Bagaimana dengan kandunganmu? Sehat?” aku aga- agak takut menanyakannya, takut menyinggungnya.
“Sejujurnya aku tidak begitu peduli, aku benar- benar tidak saggup berfikir, aku frutasi setiap ada orang yang menanyakannya” jawabnya kalut.
Aku langsung merasa bersalah “ Maaf..aku tidak bermaksud..”
“ Tidak apa- apa, aku mengerti”potongnya sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku.
“ bagaimana kalau kita makan dulu, kamu belum makan dari semalam” aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“ aku sama sekali tidak lapar”
Jawabnya singkat.
Dia kembali menatapku, dan mata itu berkaca- kaca lagi
“ Rin, kamu lihat aku sekarang kan? Mati!”
Ya ampun, aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa padanya.
“ Rin..dulu ibuku bialng aku tidak menyayanginya, Dia selalu memaksakan keinginanya, aku sangat sayang padanya, sehingga inilah yang aku rasakan, ibuku...dia tidak merasakannya, aku yang menjalaninya, dia bahkan sekarang lupa kalau dulu dia memaksaku menikahi lelaki itu”
Hasnah membekap mulutnya dan menahan isak tangisnya.
Aku merangkulnya, ikut menangis, karena aku juga bingung, tidak menemukan kata- kata yang setidaknya membuatnya sedikit saja lebih lega.

“ Nanti kalau aku punya anak, aku tidak akan memaksakan kehendakku padanya, aku tahu bagaimana rasanya” Hasnah bergumam dalam tagisannya.

Hasnah si gadis ceria dan manis itu tidak ada lagi, berganti dengan Hasnah yang terus menangis dan merasa hidupnya telah berakhir. Dan sayangnya itu bukan hanya pendapat Hasnah, aku juga melihatnya. Dia memang benar- benar telah hilang.

No comments:

Post a Comment